Minggu, 04 Juni 2017

Potret Keluarga Dalam Al Qur'an

Jika setiap kita (Muslim) ditanya, apa kitab sucinya? akan dijawab Al Quran. Jika ditanya, apa mukjizat terbesar Nabi kita, akan dijawab: Al Quran. Jika ditanya, apa fungsinya, akan dijawab di antaranya: sebagai hudan (petunjuk).

Bahkan ditanamkan ke dalam diri setiap kita bahwa Al Quran adalah sumber segala ilmu. Hingga hari ini ramai dibahas tentang kemukjizatan ilmiah Al Quran. Tapi sayang, sementara ini Al Quran masih disingkirkan dari fungsinya sebagai panduan bagi keluarga muslim.

Bicara tentang pola hubungan suami dan istri, sumbernya bukan Al Quran. Membahas tentang komunikasi orangtua dan anak, diambil dari berbagai teori yang bukan dari Al Quran. Bagaimana melahirkan orang-orang besar dari rahim keluarga, jika tidak mengacu pada ayat-ayat Al Quran. Tolok ukur keberhasilan rumah tangga juga terlalu sederhana, karena tidak menggali dari jernihnya mata air Al Quran.

Senin, 13 Maret 2017

SHALAHUDDIN AL AYYUBI (1137 – 1193 M)



SULTAN SALAHUDDIN AL-AYYUBI, namanya telah terpateri di hati sanubari pejuang Muslim yang memiliki jiwa patriotik dan heroik, telah terlanjur terpahat dalam sejarah perjuangan umat Islam karena telah mampu menyapu bersih, menghancurleburkan tentara salib yang merupakan gabungan pilihan dari seluruh benua Eropa.
 
Konon guna membangkitkan kembali ruh jihad atau semangat di kalangan Islam yang saat itu telah tidur nyenyak dan telah lupa akan tongkat estafet yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad saw., maka Salahuddinlah yang mencetuskan ide dirayakannya kelahiran Nabi Muhammad saw. Melalui media peringatan itu dibeberkanlah sikap ksatria dan kepahlawanan pantang menyerah yang ditunjukkan melalui “Siratun Nabawiyah”. Hingga kini peringatan itu menjadi tradisi dan membudaya di kalangan umat Islam.

Jarang sekali dunia menyaksikan sikap patriotik dan heroik bergabung menyatu dengan sifat perikemanusian seperti yang terdapat dalam diri pejuang besar itu. Rasa tanggung jawab terhadap agama (Islam) telah ia baktikan dan buktikan dalam menghadapi serbuan tentara ke tanah suci Palestina selama dua puluh tahun, dan akhirnya dengan kegigihan, keampuhan dan kemampuannya dapat memukul mundur tentara Eropa di bawah pimpinan Richard Lionheart dari Inggris.

TIPE MUSLIM YANG MANAKAH KITA?

Berbicara tentang ilmu dan amal, menarik untuk merenungkan kembali pernyataan Khalil bin Ahmad al-Bishri yang dikutip oleh Imam al-Ghazali dalam salah satu masterpiece-nya, Ihya ’Ulum ad-Din (I/46), juga dalam At-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk (I/44) (Lihat juga: Ar-Razi, Mafatih al-Ghayb, I/463; as-Samarqandi, Bahr al-’Ulum, I/395).

Disebutkan oleh Khalil bin Ahmad al-Bishri, bahwa ada empat jenis manusia di dunia ini.

Pertama, Rajul[un] la yadri wala yadri annahu la yadri (Seseorang yang tidak tahu dan dia tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu). Orang jenis ini adalah orang yang bodoh dalam agama, tetapi ia tidak menyadari kebodohannya. Akibatnya, ia sering bersikap sok pintar. Karena sok pintar (padahal bodoh), ia sering menolak kebenaran, meski itu jelas-jelas ditegaskan dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Misal, tegas-tegas dinyatakan dalam al-Quran perintah kepada kaum wanita untuk menutup auratnya rapat-rapat: memakai kerudung (QS an-Nur [24]: 31) dan berjilbab saat keluar rumah (QS al-Ahzab [33]: 59). Namun, masih banyak wanita Muslimah, saat diberitahu ihwal kewajiban ini, yang menolaknya, bahkan dengan penolakan yang amat keras. Contoh lain adalah: yang menolak keharaman pemimpin kafir, para penolak syariah dan Khilafah; para pemuja dan pengemban demokrasi; para pengamal sekularisme, liberalisme, pluralisme, feminisme, dan ide-ide sesat lainnya.


Kedua, Rajul[un] la yadri wa yadri annahu la yadri (Seseorang yang tidak tahu dan dia tahu bahwa dirinya tidak tahu). Orang jenis ini adalah orang yang awam dalam hal agama, tetapi amat menyadari keawamannya. Karena itu ia selalu berusaha menambah pengetahuan dan wawasannya. Ia rajin mendatangi majelis-majelis ilmu, membaca banyak buku, banyak bertanya kepada orang yang lebih tahu, dan yang pasti ia tidak akan pernah alergi terhadap siapapun yang menyampaikan kebenaran kepada dirinya. Orang jenis ini termasuk ke dalam golongan para pencari ilmu, yang haus akan kebenaran dari siapapun datangnya. Ia tidak akan pernah menolak kebenaran meski itu berasal dari luar mazhabnya, organisasinya, atau harakah-nya; tentu selama kebenaran itu bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah.


Ketiga, Rajul[un] yadri wala yadri annahu yadri (Seseorang yang tahu tetapi dia tidak tahu bahwa dirinya tahu). Orang jenis ini adalah orang yang berpengetahuan atau yang banyak ilmu agamanya. Mereka mungkin para ustad, para mubalig, ulama, kiai, dsb. Namun, pengetahuan dan keilmuannya tidak tercermin dalam perilaku dan tindakannya. Banyak dari mereka yang tahu bahwa menerapkan syariah Islam secara total dalam kehidupan itu wajib, tetapi mereka enggan mengusahakannya (kecuali pada level pribadi). Banyak yang paham bahwa menegakkan Khilafah itu wajib, tetapi mereka malas untuk memperjuangkannya. Banyak yang sadar dan sepakat bahwa sistem kehidupan yang berjalan selama ini rusak, tetapi mereka tak tergerak untuk mengubahnya ke arah Islam.

Sebetulnya orang jenis ini tidak melulu orang yang faqih dalam agama; bisa juga ia termasuk orang yang biasa-biasa saja pengetahuan agamanya. Misal, setiap Muslim/Muslimah tentu paham bahwa shalat lima waktu, shaum Ramadhan, menuntut ilmu, menutup aurat (memakai kerudung dan berjilbab bagi wanita), berdakwah, melakukan amar makruf nahi mungkar; semua itu wajib. Namun faktanya, banyak Muslim/Muslimah yang shalatnya bolong-bolong bahkan jarang sekali shalat; banyak yang tidak shaum Ramadhan kecuali beberapa hari saja; banyak yang malas menuntut ilmu; banyak yang enggan memakai kerudung dan berjilbab; banyak yang tidak mau berdakwah dan melakukan amar makruf nahi mungkar.

Orang jenis ini juga boleh jadi ada di lingkungan para pengemban dakwah. Tak sedikit, misalnya, para aktivis dakwah yang menyadari bahwa belajar bahasa Arab itu wajib (menurut sebagian ulama), tetapi ia malas melakukannya. Padahal mereka telah mengetahui bahwa penguasaan bahasa Arab penting untuk menjadi seorang yang faqih fi ad-din sebagai bekal dirinya dalam berdakwah. Apalagi mereka pun sudah tahu bahwa salah satu faktor pemicu kemunduran kaum Muslim adalah karena mereka terjauhkan dari penguasaan bahasa Arab.

Bagaimana dengan dakwah mereka? Tentu, merekalah yang paling tahu tentang hakikat kewajiban berdakwah di tengah-tengah umat, apalagi berdakwah dalam rangka menegakkan syariah dan Khilafah. Namun, fakta di lapangan sering tak selalu mencerminkan baiknya pemahaman; tak sedikit yang menjadikan dakwah sebagai urusan kedua, ketiga, keempat bahkan keempat belas.


Keempat, Rajul[un] yadri wa yadri annahu yadri (Seseorang yang tahu dan dia tahu bahwa dirinya tahu). Inilah jenis manusia terbaik. Yang termasuk kelompok ini adalah para ulama yang benar-benar mengamalkan ilmu mereka, para aktivis dakwah yang benar-benar menjadikan dakwah sebagai poros hidupnya, serta siapapun yang perilaku dan tindakannya sesuai dengan pemahaman dan ucapannya. Mereka inilah Muslim sejati yang pantas dan layak diteladani. 

Pertanyaannya: Dari keempat kategori di atas, kita termasuk tipikal Muslim yang mana?

Wama tawfiqi illa bilLah 

Oleh : Arief B. Iskandar

Buat Yang Suka Marah, Baca Nih.!!!

MARAH merupakan suatu hal yang cukup sulit untuk dihindari oleh seseorang. Ketika ada suatu hal yang sangat mengganjal dalam hatinya dan itu sangat bertentangan dengan keinginan hatinya, maka marah adalah solusinya. Itulah menurut pendapat kebanyakan orang, yang cukup mudah mengekspresikan emosi kemarahannya.

Marah, bukanlah hal yang dianjurkan dalam Islam. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa hampir semua orang selalu merasakan marah. Tetapi, memang tidak semuanya diluapkan dengan cara yang buruk. Ada pula yang hanya memendam amarah itu.

Tahukah Anda, bahwa ternyata marah itu menyimpan banyak fakta unik di baliknya. Apa sajakah itu?

Minggu, 05 Maret 2017

Inilah Hak Ibu Setelah Anak Lelakinya Menikah



Menikah merupakan salah satu Sunnah Rasul yang sangat dianjurkan, untuk membangun keluarga sakinah adalah dambaan setiap insan. Namun sebelum menikah, seorang anak baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kewajiban yang besar kepada kedua orang tuanya, terutama kepada ibundanya.

Apabila  anak perempuan menikah, maka dia akan menjadi hak suami. Ayah dan Ibunya tidak lagi memiliki hak atas perempuan tersebut. Namun, bagi anak laki-laki, kewajiban berbakti kepada ibu tidak akan hilang begitu saja. Sehingga meski sudah memiliki istri dia tetap menjadi hak Ibunya.

Mengapa adanya perbedaan hak ibu terhadap anak laki-lakinya yang telah menikah? Lantas bagaimana pula seharusnya anak laki-laki memperlakukan ibunya setelah menikah, di samping tetap mewujudkan keluarga bersama istri dan anak-anak? Simak ulasan berikut.

INILAH ORANG YANG BANGKRUT DI HARI KIAMAT


Ada sebagian muslim yang berfikir tentang gosip adalah hal sepele, dia begitu menikmati membicarakan aib orang lain. Ketika dia ditegur oleh temannya, “Eh, ga baik ah ngomongin kejelekan orang lain, dosa lho gosipin orang”.
Bisa jadi dia beralasan:
"Tapi kan apa yang saya omongin itu memang benar apa adanya...
Saya kan ga mengada-ngada, itu emang fakta koq...
Ah orang lain juga kan biasa aja ngomongin dia, apa masalahnya?"

Tahukah Anda, gosip itu sangat berbahaya. Beneran sangat berbahaya. Mari kita simak riwayat hadits Muslim berikut ini :