Senin, 25 Juli 2016

Hasan Al-Banna dan Kelahiran Al-Ikhwanul Muslimun


Setelah runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani pada tahun 1924, pasca Perang Dunia Pertama, hampir semua negara Arab jatuh ke tangan penjajah Barat. Umat Islam pun mulai tercabik-cabik oleh kekuatan imperialisme Barat.

Dalam kondisi dunia Islam seperti itulah, seorang pemuda bernama Hasan bersama beberapa orang sahabatnya mendirikan cikal bakal gerakan “Ikhwanul Muslimun”.

Hasan Al-Banna lahir di
Al Mahmudiyah, sebuah kota kecil di Mesir, pada 14 Oktober 1906. Ayah beliau, Ahmad Abdurahman As-Sa’ati, bekerja sebagai tukang arloji tetapi juga merupakan ulama terkenal karena karya besarnya Fathur Rabbani dan Bulughul Amani. Ini kitab besar yang memberi penjelasan tentang musnad Imam Ahmad yang mencakup ribuan hadits.

Hasan kecil mendapat pendidikan awal melalui kedua orangtuanya. Ruh Al Quran telah tertanam dalam jiwanya sejak kecil. Sehingga keberanian untuk menyampaikan sesuatu yang hak dan mencegah hal yang munkar telah tumbuh semenjak remajanya.

Di usianya yang masih remaja, Hasan telah menunjukkan kepiawaiannya dalam memimpin dan berorganisasi. Bersama beberapa kawan sekolahnya, ia mendirikan perkumpulan “Akhlaq Adabiyyah” yang tujuannya bagaimana menjaga akhlak dan adab yang baik.
Aktivitas mereka, yaitu saling menasihati di antara sesama anggota untuk berakhlak mulia, di samping menghimpun dana bagi kaum fakir miskin.

Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, Pemuda Hasan melanjutkan sekolahnya di Perguruan Darul Ulum Kairo selama empat tahun. Sesudah lulus, ia ditugaskan mengajar sekolah dasar di Ismailiyyah. Di kota kecil inilah Hasan membangun gerakan dakwah IM.

Gerakan Ikhwan memulai kiprahnya semenjak Maret 1928. Tujuan gerakan IM  sebagaimana dikemukakan Hasan Al-Banna adalah menyampaikan risalah Islam secara benar dan jelas kepada seluruh manusia pada umumnya dan kaum muslim khususnya. Al-Ikhwan berupaya menyatukan hati umat muslim dengan landasan yang satu, yaitu Islam.

Selain itu, mereka ingin membebaskan negeri-negeri muslimin dari kungkungan kaum penjajah. Mereka juga berupaya sekuat tenaga menegakkan negara yang merealisasikan hukum-hukum Islam di tengah rakyatnya, serta mampu menyampaikan misi dan risalah Islam ke luar negeri.

Pada awalnya, gerakan dakwah Al-Banna dan Ikhwannya sama seperti gerakan lainnya, yakni lebih terfokus pada pembinaan masyarakat untuk kembali kepada Islam melalui mimbar mesjid dan sarana dakwah lainnya. 

Tapi gerakan Ikhwan mempunyai keunikan tersendiri. Dakwah yang mereka lakukan tidak hanya kokoh di mesjid-mesjid, tetapi melebar ke tempat-tempat umum, seperti sekolah-sekolah, pasar-pasar, pabrik-pabrik, kantor-kantor bahkan di warung kopi (maqha) tempat berkumpulnya orang-orang untuk melepas kepenatan.

Nama Al-Banna yang melekat pada Hasan adalah pemberian sahabat-sahabatnya disebabkan keutamaan pribadi beliau sebagai muassis dan pembangun jamaah dakwah. Nama gerakan Al-Ikhwanul Muslimun lahir begitu saja ketika Imam Hasan Al-Banna ditanya oleh para sahabatnya tentang nama gerakannya, beliau menjawab “Kita semua adalah Umat Islam dan Umat Islam itu pada hakikatnya bersaudara, jadi kita adalah “Al-Ikhwanul Muslimun (Persaudaraan Islam)”.

Sejak saat itu, pengikut Hasan Al-Banna menamakan Al-Ikhwanul Muslimun bagi organisasi mereka. Mereka tidak membangga-banggakan nama kelompoknya ini karena tujuan mereka adalah mengajak kepada Islam. Imam Hasan Al-Banna sendiri pernah berkata, “Kam minna wa laisa fiina wa kam fiina wa laisa minna” (Berapa banyak orang dari kita tetapi tidak bersama kita dan berapa banyak orang yang bersama kita, tetapi belum termasuk golongan kita). 

Hasan Al-Banna sendiri sangat mengutamakan kesatuan Umat. Beliau selalu berpesan pada pengikutnya agar berpegang pada prinsip, “Nata’awan fimaa ittaqnaa, wanataa’dzar fimaa ikhtalafnaa” (Kita bekerja sama pada hal yang kita sepakati dan bertoleransi terhadap hal-hal yang kita berbeda).