Berbicara tentang ilmu dan amal, menarik untuk merenungkan kembali pernyataan Khalil bin Ahmad al-Bishri yang dikutip oleh Imam al-Ghazali dalam salah satu masterpiece-nya, Ihya ’Ulum ad-Din (I/46), juga dalam At-Tibr al-Masbuk fi Nashihah al-Muluk (I/44) (Lihat juga: Ar-Razi, Mafatih al-Ghayb, I/463; as-Samarqandi, Bahr al-’Ulum, I/395).
Disebutkan oleh Khalil bin Ahmad al-Bishri, bahwa ada empat jenis manusia di dunia ini.
Pertama, Rajul[un] la yadri wala yadri annahu la yadri (Seseorang yang tidak tahu dan dia tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu). Orang jenis ini adalah orang yang bodoh dalam agama, tetapi ia tidak menyadari kebodohannya. Akibatnya, ia sering bersikap sok pintar. Karena sok pintar (padahal bodoh), ia sering menolak kebenaran, meski itu jelas-jelas ditegaskan dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Misal, tegas-tegas dinyatakan dalam al-Quran perintah kepada kaum wanita untuk menutup auratnya rapat-rapat: memakai kerudung (QS an-Nur [24]: 31) dan berjilbab saat keluar rumah (QS al-Ahzab [33]: 59). Namun, masih banyak wanita Muslimah, saat diberitahu ihwal kewajiban ini, yang menolaknya, bahkan dengan penolakan yang amat keras. Contoh lain adalah: yang menolak keharaman pemimpin kafir, para penolak syariah dan Khilafah; para pemuja dan pengemban demokrasi; para pengamal sekularisme, liberalisme, pluralisme, feminisme, dan ide-ide sesat lainnya.
Kedua, Rajul[un] la yadri wa yadri annahu la yadri (Seseorang yang tidak tahu dan dia tahu bahwa dirinya tidak tahu). Orang jenis ini adalah orang yang awam dalam hal agama, tetapi amat menyadari keawamannya. Karena itu ia selalu berusaha menambah pengetahuan dan wawasannya. Ia rajin mendatangi majelis-majelis ilmu, membaca banyak buku, banyak bertanya kepada orang yang lebih tahu, dan yang pasti ia tidak akan pernah alergi terhadap siapapun yang menyampaikan kebenaran kepada dirinya. Orang jenis ini termasuk ke dalam golongan para pencari ilmu, yang haus akan kebenaran dari siapapun datangnya. Ia tidak akan pernah menolak kebenaran meski itu berasal dari luar mazhabnya, organisasinya, atau harakah-nya; tentu selama kebenaran itu bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah.
Ketiga, Rajul[un] yadri wala yadri annahu yadri (Seseorang yang tahu tetapi dia tidak tahu bahwa dirinya tahu). Orang jenis ini adalah orang yang berpengetahuan atau yang banyak ilmu agamanya. Mereka mungkin para ustad, para mubalig, ulama, kiai, dsb. Namun, pengetahuan dan keilmuannya tidak tercermin dalam perilaku dan tindakannya. Banyak dari mereka yang tahu bahwa menerapkan syariah Islam secara total dalam kehidupan itu wajib, tetapi mereka enggan mengusahakannya (kecuali pada level pribadi). Banyak yang paham bahwa menegakkan Khilafah itu wajib, tetapi mereka malas untuk memperjuangkannya. Banyak yang sadar dan sepakat bahwa sistem kehidupan yang berjalan selama ini rusak, tetapi mereka tak tergerak untuk mengubahnya ke arah Islam.
Sebetulnya orang jenis ini tidak melulu orang yang faqih dalam agama; bisa juga ia termasuk orang yang biasa-biasa saja pengetahuan agamanya. Misal, setiap Muslim/Muslimah tentu paham bahwa shalat lima waktu, shaum Ramadhan, menuntut ilmu, menutup aurat (memakai kerudung dan berjilbab bagi wanita), berdakwah, melakukan amar makruf nahi mungkar; semua itu wajib. Namun faktanya, banyak Muslim/Muslimah yang shalatnya bolong-bolong bahkan jarang sekali shalat; banyak yang tidak shaum Ramadhan kecuali beberapa hari saja; banyak yang malas menuntut ilmu; banyak yang enggan memakai kerudung dan berjilbab; banyak yang tidak mau berdakwah dan melakukan amar makruf nahi mungkar.
Orang jenis ini juga boleh jadi ada di lingkungan para pengemban dakwah. Tak sedikit, misalnya, para aktivis dakwah yang menyadari bahwa belajar bahasa Arab itu wajib (menurut sebagian ulama), tetapi ia malas melakukannya. Padahal mereka telah mengetahui bahwa penguasaan bahasa Arab penting untuk menjadi seorang yang faqih fi ad-din sebagai bekal dirinya dalam berdakwah. Apalagi mereka pun sudah tahu bahwa salah satu faktor pemicu kemunduran kaum Muslim adalah karena mereka terjauhkan dari penguasaan bahasa Arab.
Bagaimana dengan dakwah mereka? Tentu, merekalah yang paling tahu tentang hakikat kewajiban berdakwah di tengah-tengah umat, apalagi berdakwah dalam rangka menegakkan syariah dan Khilafah. Namun, fakta di lapangan sering tak selalu mencerminkan baiknya pemahaman; tak sedikit yang menjadikan dakwah sebagai urusan kedua, ketiga, keempat bahkan keempat belas.
Keempat, Rajul[un] yadri wa yadri annahu yadri (Seseorang yang tahu dan dia tahu bahwa dirinya tahu). Inilah jenis manusia terbaik. Yang termasuk kelompok ini adalah para ulama yang benar-benar mengamalkan ilmu mereka, para aktivis dakwah yang benar-benar menjadikan dakwah sebagai poros hidupnya, serta siapapun yang perilaku dan tindakannya sesuai dengan pemahaman dan ucapannya. Mereka inilah Muslim sejati yang pantas dan layak diteladani.
Pertanyaannya: Dari keempat kategori di atas, kita termasuk tipikal Muslim yang mana?
Wama tawfiqi illa bilLah
Oleh : Arief B. Iskandar