Senin, 23 Januari 2017

Jangan Persulit Dirimu, Islam Itu Mudah



Bismillaah....
Tidaklah Allah menurunkan ajaran Islam kepada kita untuk mempersulit dan memberatkan kita. Sebaliknya, Allah yang Maha Pengasih menurunkan ajaran Islam untuk kebaikan dan kebahagiaan kita. Bersamaan dengan itu, seorang hamba akan mendapati kemudahan dan kelapangan mengamalkannya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian.” (Al-Baqarah: 185)

Al-Imam as-Sa’di rahimahullah berkata, “Maksudnya, Allah menginginkan kemudahan yang sebesar-besarnya bagi kalian (dalam menempuh) jalan yang mengantarkan kepada keridhaan-Nya dan memudahkannya semudah-mudahnya. Oleh karena itu,
seluruh perintah Allah kepada para hamba-Nya pada asalnya berada di puncak kemudahan. Apabila terdapat beberapa halangan yang memberatkan (dalam menunaikan perintah-Nya), Allah memberikan kemudahan lainnya dengan menggugurkan perintah tersebut atau memberikan keringanan.” (Tafsir as-Sa’di pada ayat di atas)

Rasulullah SAW bersabda:
“Aku diutus membawa ajaran yang lurus dan penuh kemudahan.” (HR. Ahmad dari Ibnu Abbas RA)

Kalau mau merenungkan rukun Islam, niscaya kita akan mendapatinya penuh kemudahan dan kelapangan dalam pengamalannya. Kita dapati, shalat dikerjakan lima kali dalam sehari semalam secara ringkas, dalam waktu yang relatif singkat (katakanlah sepuluh menit tiap shalat). Itu pun manakala hamba mengalami kepayahan karena sakit atau safar, dia akan mendapatkan keringanan seperti boleh menjamak dan meng-qashar shalat ketika safar. Atau ketika mengalami sakit, dia boleh bertayamum sebagai pengganti wudhu dan melakukan shalat sambil duduk; kalau tidak mampu duduk, boleh sambil berbaring.

Demikian pula halnya zakat. Kita dapati bahwa zakat tidak dikeluarkan selain pada harta-harta tertentu yang ditetapkan oleh syariat, seperti emas, perak, uang, dan beberapa jenis ternak. Adapun harta yang dipakai sehari-hari oleh seorang insan, seperti rumah, perabot rumah tangga, mobil, tanah pekarangan, dsb., tidak ada zakatnya. Selain itu, kadarnya pun sangat sedikit, yaitu 2,5% dari seluruh harta yang sudah mencapai nishab (batas kadar minimal harta yang ditetapkan oleh syariat yang harus dikeluarkan zakatnya).

Kemudian, ibadah puasa. Tidaklah Allah mewajibkan puasa sepanjang tahun, tetapi hanya mewajibkan puasa satu bulan dalam setahun, yaitu puasa Ramadhan. Bersamaan dengan itu, apabila seorang hamba sakit, dia boleh berbuka dan menggantinya pada hari lain manakala sudah sehat. Kalau sakitnya tidak diharapkan sembuh, dia boleh tidak berpuasa, tetapi mengganti puasanya dengan memberi makan kepada seorang fakir miskin untuk setiap hari yang dia tidak berpuasa.

Demikian juga haji, hanya diwajibkan atas hamba yang mampu, baik dalam hal harta maupun fisik. Kalau seorang hamba tidak mampu dalam hal harta, dia tidak diwajibkan untuk berhaji. Kalau seorang hamba mampu dalam hal harta, tetapi fisiknya tidak mampu karena lemah atau sakit, misalnya, dia bisa dihajikan oleh orang lain.

Kesimpulannya, Islam adalah ajaran yang penuh kelapangan dan kemudahan. Bersamaan dengan itu, balasan yang didapatkan oleh orang yang mengamalkan ajaran Islam itu sedemikian besar.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa seorang Arab badui berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkan kepada saya suatu amalan yang jika saya amalkan, saya masuk surga.”
Rasulullah SAW menjawab, “Beribadahlah kepada Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, tunaikanlah shalat yang wajib, bayarlah zakat yang wajib, dan berpuasalah pada bulan Ramadhan.”

“Demi Dzat Yang mengutus Anda dengan kebenaran”, kata si badui, “saya tidak akan menambah ataupun mengurangi hal ini sedikit pun.”

Ketika orang tersebut berpaling, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa ingin melihat penduduk surga, lihatlah kepada orang ini.” (Muttafaq ‘alaih)

Sahabat yang dirahmati Allah. Kalau orang yang sekadar melaksanakan rukun Islam saja bisa masuk surga, lantas bagaimana halnya dengan orang yang mengamalkan amalan kebaikan yang lain, seperti ibadah-ibadah sunnah? Tentu lebih besar harapannya untuk bisa masuk surga. Begitulah gambaran kemudahan ajaran Islam.

Pada dasarnya Allah telah menjadikan mudah agama Islam ini. Maka dari itu, tidak sepantasnya seorang hamba berlaku ekstrem dalam mengamalkan Islam, dengan menambah-nambahi ajaran Rasulullah SAW. Ajaran Islam telah sempurna.

Mari kita renungkan hadits Rasulullah berikut.
Dari Anas bin Malik RA, dia mengisahkan, “Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Rasulullah SAW. Mereka bertanya tentang ibadah Rasulullah SAW. Ketika mereka diberi tahu tentang ibadah beliau, seolah-olah mereka menganggap sedikit ibadah beliau tersebut. Mereka berkata, “Di mana kita dibandingkan dengan Rasulullah? Beliau telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.”

Salah satu dari mereka berkata, “Saya akan shalat malam selamanya.” Yang lainnya lagi berkata, “Saya akan berpuasa sepanjang tahun dan tidak berbuka.” Yang lainnya lagi berkata, “Saya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya.”

Kemudian, Rasulullah mendatangi mereka dan bersabda, “Kaliankah yang mengatakan demikian dan demikian? Ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah di antara kalian, tetapi aku berpuasa, juga berbuka; mengerjakan shalat malam, juga tidur; dan menikahi wanita-wanita. Barang siapa tidak menyukai sunnahku, dia bukan dari golonganku.” (Muttafaq ‘alaih)

Dalam hadits yang agung di atas ada pelajaran penting yang bisa kita ambil, yaitu bahwa ibadah apa pun yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW hendaknya kita laksanakan dengan tata cara yang telah beliau gariskan. Kita tidak diperbolehkan melakukan ekstremitas dalam ibadah dengan menambahkan tata cara tertentu atas inisiatif kita sendiri.

Lihatlah, dua orang yang pertama dalam hadits di atas hendak mengamalkan ibadah yang disyariatkan, yaitu shalat malam dan puasa sunnah. Akan tetapi, ketika mereka melaksanakannya dengan tata cara yang mereka inginkan, berpuasa terus-menerus dan shalat malam terus-menerus, hal itu disalahkan oleh Rasulullah.

Mirip dengan hal ini adalah para pengikut tarekat sufi yang berdzikir dengan tata cara dan jumlah tertentu yang mereka tetapkan sendiri dan tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW. Memang, pada asalnya dzikir adalah amalan yang mulia. Akan tetapi, manakala dilakukan dengan jumlah tertentu, tata cara tertentu, dan pada waktu-waktu tertentu yang tidak digariskan oleh Rasulullah, dzikir tersebut menjadi terlarang.

Demikian pula membaca al-Qur’an, pada asalnya adalah ibadah yang sangat agung. Akan tetapi, manakala dilaksanakan dengan tata cara yang dibuat-buat, membacanya bisa menjadi terlarang dalam agama. Misalnya, kalau ada acara mitoni (acara tradisi selamatan tujuh bulan kandungan di masyarakat Jawa), kadang dibacakanlah surat Yusuf atau surat Maryam, dengan keyakinan bahwa kalau bayi yang lahir laki-laki, akan tampan seperti Nabi Yusuf; kalau perempuan, akan cantik dan salihah seperti Maryam. Pembacaan al-Qur’an dengan keyakinan demikian termasuk perkara yang terlarang, karena menambahkan keyakinan yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Mendoakan orang mati juga ibadah yang disyariatkan. Akan tetapi, manakala dilakukan dengan tata cara yang dikarang-karang, bisa menjadi terlarang. Misalnya, doa tersebut selalu dilakukan dengan berjamaah dan pada hari-hari tertentu, yaitu hari ketujuh, hari keseratus, dan hari keseribu setelah kematian. Tata cara yang seperti ini mengubah hukum ibadah yang mulia tersebut menjadi bid’ah. Lebih-lebih kalau ditambahi acara makan-makan di rumah keluarga yang sedang berduka, ibadah mendoakan orang yang sudah mati menjadi terlarang.

Jarir bin ‘Abdillah al-Bajali RA berkata, “Kami (para sahabat) menganggap perbuatan berkumpul-kumpul di rumah duka dan membuat makanan setelah penguburan sebagai perbuatan meratapi mayit (yang terlarang).” (HR. Ahmad)

Naifnya, terkadang ada keluarga yang kurang mampu sampai terbebani utang demi biaya ritual kirim doa untuk mayit tersebut.

Masih banyak contoh syariat-syariat “tambahan” yang dibuat-buat oleh sebagian masyarakat di negeri kita. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita dan mereka.

Sahabat yang dirahmati Allah, sesungguhnya ajaran Islam telah sempurna. Karena kesempurnaan Islam, kita dilarang menambahi tata cara ibadah dalam Islam walaupun dengan maksud kebaikan. Semestinya setiap mukmin mencukupkan diri dengan ajaran yang telah dituntunkan oleh Rasulullah SAW.

Sahabat yang mulia, ‘Abdullah bin Mas’ud RA, berkata, 
“Ikutilah (sunnah Rasulullah) dan janganlah kalian berbuat bid’ah, karena kalian sungguh telah tercukupi. Setiap bid’ah adalah kesesatan.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhoh)

Beliau juga berkata, “Sederhana dalam mengamalkan sunnah Rasul itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam melakukan kebid’ahan.” (Diriwayatkan oleh al-Lalika’i)

Pada hakikatnya, perbuatan menambah-nambahi ajaran Islam itu justru akan menambah beban dan mempersulit pelakunya. Kalau setiap orang dibolehkan menambah-nambahi ajaran Islam, bertambahlah sekian banyak beban syariat yang mesti diamalkan. Hal ini tentu semakin memberatkan seseorang. Karena kasih sayang Rasulullah SAW kepada umatnya, beliau pun melarang perbuatan demikian. 

Beliau bersabda, “Barang siapa mengada-adakan suatu perkara dalam urusan (agama) kami yang bukan darinya, perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Cukuplah Islam yang mudah itu saja yang kita amalkan. Tidak perlu kita menambahnya dengan bid’ah yang justru akan memberatkan dan menyulitkan kita.

Ustadz Abu Hafs Umar