Selasa, 10 Januari 2017

Ketika Rasulullah SAW Hilang Sekejap Diantara Para Sahabat Tercintanya



Abu Hurairah berkata, “Suatu ketika kami duduk-duduk dalam sebuah majelis, kemudian kami mencari-cari Rasulullah SAW namun kami tidak menemukannya”.
Abu Hurairah dan para sahabat biasanya selalu bersama Rasulullah setiap sore. Namun, sore itu beliau tidak ada bersama mereka sehingga mereka mencari beliau, namun tidak menemukan beliau. 

Lantas, mereka berpencar mencari beliau.
Mereka berkata, “Wahai Abu Hurairah, engkau mencari di kebun si fulan, Abu Bakar mencari di daerah sini, dan Umar mencari di daerah sana. Setiap orang mencari di tempat yang berbeda.”
Namun, Abu Hurairah-lah yang beruntung dalam pencarian. Dialah yang menemukan Rasulullah SAW di dalam sebuah kebun milik seorang Anshar. Dia mendatangi kebun tersebut, lalu bertanya akan keberadaan Rasulullah. Orang Anshar itu pun memberitahukan kepadanya bahwa Rasulullah SAW berada di tengah kebun.

Bisa dibayangkan bagaimana rasanya jika engkau dikejutkan dengan keberadaan Rasulullah SAW
di sebuah tempat. Ini adalah peristiwa istimewa karena beliau bukanlah sekadar seorang pemimpin, melainkan penghulu para pemimpin; bukan pula seorang ulama, melainkan penghulu para ulama.
Kemudian Abu Hurairah masuk ke dalam kebun.

Abu Hurairah ialah seorang yang humoris, ramah, berasal dari Bani Zuhrah, yang tinggal di daerah pegunungan. Abu Hurairah berkata, “Maka, aku pun bersiap-siap. Aku rapikan pakaianku, lalu aku masuk ke dalam kebun.”

Dalam riwayat lain dikatakan, “Aku berdandan bagaikan seekor serigala yang sedang bersiap-siap.”
Ketika Abu Hurairah memasuki kebun, tiba-tiba Rasulullah SAW melihatnya, lantas bertanya, “Dari mana sajakah engkau, wahai Abu Hirr (kucing)?”

Abu Hurairah mendapat gelar demikian karena dahulu dia senang bermain-main dengan kucing miliknya. Karena itulah, keluarganya memanggil dengan sebutan Abu Hurairah.

“Wahai, Rasulullah. Kami kehilangan engkau, lalu kami datang mencarimu,” jawab Abu Hurairah.
Rasulullah SAW bersabda, 

“Wahai, Abu Hurairah. Kembalilah kepada manusia dan kabarkanlah bahwa barang siapa yang mengucapkan Lâ Ilâha Illallâh dan aku adalah Rasulullah dengan jujur dari dalam hatinya, niscaya dia akan masuk surga, dan bawalah sepatuku ini sebagai saksi akan kebenaran yang engkau ucapkan.” Lalu Rasulullah SAW mengambil sepatunya dan memberikannya kepada Abu Hurairah.[1]

Keluarlah Abu Hurairah dengan kegembiraan yang meluap-luap dan membawa kabar gembira, karena pasti dialah yang akan menyampaikannya kepada seluruh manusia. Dia pun bersiap-siap, kemudian keluar dari kebun tersebut. Tiba-tiba di jalan dia bertemu dengan Umar.

“Allâhu Akbar,” Umar berdiri di hadapannya.
Umar bertanya, “Dari manakah engkau, wahai Abu Hurairah?”
Abu Hurairah menjawab, “Aku telah menemukan Rasulullah SAW di kebun ini. Beliau berkata kepadaku, ‘Kabarkanlah kepada orang yang engkau temui bahwa barang siapa yang bersaksi tiada tuhan (yang hak untuk disembah) selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah dengan ikhlas dari dalam hatinya, niscaya dia akan masuk surga,’ dan ini adalah sepatu beliau sebagai bukti akan kebenaran ucapanku.”

Lantas Umar mengambil sepatu tersebut dan memukulkannya ke dada Abu Hurairah.
Abu Hurairah berkata, “Karena pukulannya, sampai-sampai aku tersungkur ke belakang.”
Lalu Umar berkata, “Kembalilah kepada Rasulullah, karena aku takut dengan mendengar ucapan beliau, manusia akan ber-ittikâl (hanya bergantung pada kabar gembira tanpa mau beramal).”
Abu Hurairah pun masuk kembali ke dalam kebun dengan membawa sepatu dan langsung menemui Rasulullah, sementara Umar mengikutinya di belakang.

Seandainya bukan karena Umar, maka Abu Hurairah tidak akan kembali kepada Rasulullah. Akan tetapi, Umarlah yang telah mengeluarkan jin-jin ‘ifrit dan setan-setan dari dalam kepala sebagian manusia.
Aku tidak suka berjalan kecuali di atas jalan yang mendaki
Tidak juga kilat kecuali berasal dari arah Yaman
Abu Hurairah pun kembali sambil menangis di hadapan Rasulullah SAW Lalu beliau bertanya, “Mengapa engkau menangis?”
Abu Hurairah menjawab, “Umar telah memukulku, wahai Rasulullah.”
“Mengapakah demikian?” tanya beliau lagi.
“Dia melarangku menyampaikan sabda engkau kepada orang-orang,” jawabnya.
Tidak berapa lama, Umar pun datang dan berdiri di hadapan Rasulullah SAW, lantas beliau bertanya kepadanya, “Mengapa engkau memukulnya?”
Dengan lantang Umar menjawab, “Wahai, Rasulullah. Aku takut jika dia mengabarkannya kepada manusia, mereka akan ber-ittikâl. Biarkanlah mereka beramal, wahai Rasulullah.”
Mendengar jawaban Umar, Rasulullah pun tersenyum, lalu berkata, “Biarkanlah mereka beramal.”
Rasulullah SAW menetapkan sikap Umar, karena dia seorang yang cerdas. Jika hal ini bukan termasuk dari kegeniusan, maka hal ini tidak akan terjadi.

Ada pelajaran berharga dari peristiwa tersebut. Pertama, kedudukan Rasulullah SAW di dalam hati para sahabat. Kedua, kesungguhan Abu Hurairah dalam menyampaikan hadits Nabi. Ketiga, sikap Umar yang keras sehingga mendorongnya untuk mengonsultasikan masalah secara langsung kepada Rasulullah SAW .