Senin, 23 Januari 2017

Peran Perempuan Dalam Islam


Islam datang ke dunia membawa seperangkat aturan untuk memastikan kehidupan manusia berjalan sesuai dengan fitrah dan membawa kebahagiaan bagi manusia dunia dan akhirat. Aturan tersebut berlaku baik untuk laki-laki maupun perempuan. Keduanya sama dalam pandangan syariah (Lihat: QS al-Ahzab : 35).

Namun, ada saatnya Islam memberikan aturan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki wajib mencari nafkah, berjihad, shalat Jumat, menunaikan perwalian; sedangkan perempuan tidak wajib. Sebaliknya, perempuan terikat dengan hukum-hukum tertentu seperti wajib meminta izin kepada suami, mengenakan jilbab dan kerudung, ber-‘iddah, dan sebagainya; sementara laki-laki tidak.

Pembedaan ini bukan untuk
meninggikan derajat yang satu dan menghinakan yang lain. Semua itu adalah solusi dari Allah SWT atas perbedaan fitrah dan kodrat mereka yang tidak dapat diingkari. Bahkan syariah Islam memuliakan perempuan lebih dari hukum dan agama yang lainnya yang pernah ada di muka bumi.


Peran Mulia
Islam menetapkan dua peran penting perempuan, yaitu sebagai ibu dan pengelola rumah. Dalam Muqaddimah Dustur bab ”Nizham al-Ijtima’i” dinyatakan: “Hukum asal seorang wanita dalam Islam adalah ibu bagi anak-anak dan pengelola rumah suaminya. Ia adalah kehormatan yang wajib dijaga.”

Ibu adalah pendidik utama dan pertama bagi para buah hatinya. Ibu adalah peletak dasar jiwa kepemimpinan pada anak. Ibu mempersiapkan anak menjadi generasi pejuang. Berbahagialah para ibu Muslimah karena Allah SWT memuliakan mereka. Diriwayatkan bahwa Jahimah as-Salami pernah memohon izin kepada Rasulullah SAW. untuk berjihad. Rasulullah SAW. bertanya apakah ia masih memiliki ibu. Saat beliau tahu ia meninggalkan seorang ibu, beliau bersabda, “Hendaklah engkau tetap berbakti kepada dia karena surga ada di bawah telapak kakinya.” (HR Ath-Thabrani dan An-Nasa’i).
Sebagai seorang pengurus rumah tangga, perempuan juga dimuliakan. Lihat bagaimana jawaban Rasulullah SAW saat Asma’ binti Yazid menyampaikan kebimbangannya apakah peran istri di rumah akan sama mulia dengan peran laki-laki? Rasulullah SAW bersabda,

“Pahamilah, wahai perempuan, dan ajarkanlah kepada para perempuan di belakang kamu. Sesungguhnya amal perempuan bagi suaminya, meminta keridhaan suaminya dan mengikuti apa yang disetujui suaminya setara dengan amal yang dikerjakan oleh kaum lelaki seluruhnya.”

Namun, tidak berarti peran utama perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga (ummun wa rabbah al-bayt) menjadikan dirinya tidak punya kiprah di tengah masyarakat. Allah SWT berfirman :

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Kaum Mukmin dan Mukminat, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka melakukan amar makruf nahi mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat serta menaati Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana (QS At-Taubah [9]: 71).

Dalam ayat ini Allah SWT menggariskan bahwa perempuan memiliki kewajiban yang sama dengan laki-laki dalam melakukan amar makruf nahi munkar di tengah masyarakat. Mereka tolong-menolong (ta’awun) dalam menegakkan aktivitas yang menjadi pilar kehidupan bermasyarakat tersebut. Allah SWT pun memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk berdakwah, mengoreksi penguasa dan mengurus urusan umat. Bagi perempuan, aktivitas ini wajib dilakukan di samping penunaian aktivitas pokoknya sebagai ibu dan pengelola rumah.
Cara Islam Memelihara Peran Perempuan
Kodrat perempuan adalah menjadi ibu yang menyayangi dan selalu mendampingi anak-anaknya. Ia bahagia dicintai dan dibutuhkan anak-anak. Ia mendidik dan menempa anak-anak untuk menghadapi hidup. Mendidik anak semacam ini tidak dapat dilakukan paruh waktu atau sambilan semata. Ia membutuhkan curahan waktu, pikiran, tenaga, usaha keras dan kondisi yang menunjang.

Untuk menyempurnakan fungsi keibuan (motherhood) ini, Islam telah menetapkan serangkaian hukum-hukum praktis seperti hukum seputar kehamilan, penyusuan, pengasuhan, perwalian dan nafkah. Islam membolehkan perempuan hamil tidak berpuasa Ramadan untuk menjamin bayinya tumbuh sempurna. Ibu yang sedang menyusui untuk menyempurnakan penyusuan dua tahun juga boleh tidak berpuasa. Namun, mereka wajib meng-qadha-nya nanti saat telah lapang dari kehamilan dan penyusuan.
Pengasuhan anak merupakan hak sekaligus kewajiban ibu sampai anak menginjak usia tamyis (sekitar 7-10 tahun). Dengan demikian anak mendapatkan kasih sayang dan pendidikan dari ibu sehingga ia bisa tumbuh berkembang secara sempurna. Untuk bisa menjalankan tugasnya mengasuh dan mendidik anak dengan seoptimal mungkin, ibu dibebaskan dari berbagai kewajiban seperti shalat berjamaah di masjid, bekerja, berjihad dan hukum-hukum lain yang akan menelantarkan fungsi keibuannya. Karena itu shalat di rumah adalah lebih baik bagi perempuan. Mencari nafkah dibebankan kepada suami atau walinya, begitu pula perlindungan dan keamanannya.

Islam menetapkan mekanisme yang menjamin seorang perempuan, dalam kondisi apapun, mendapatkan nafkah. Mekanisme ini diawali dengan penetapan hukum perwalian laki-laki atas perempuan. Perwalian, tidak seperti yang dipahami masyarakat saat ini, hanya sekadar hak untuk menikahkan, adalah kewajiban laki-laki untuk melindungi, mendidik dan memberikan nafkah bagi perempuan dan anak yang berada di bawah perwaliannya. Perempuan yang belum menikah, walinya yang utama adalah ayahnya. Bagi perempuan yang sudah menikah, tugas wali ini diambil alih oleh suaminya. Bila ayah atau suami tidak ada, perwalian akan berpindah kepada kerabat laki-laki dari pihak ayah sesuai dengan kedekatan hubungan kekerabatannya.

Dalam keadaan seorang istri dicerai saat hamil, ‘iddah-nya ditentukan sampai ia melahirkan. Artinya, selama kehamilan ia tetap mendapatkan nafkah dari suami. Bila dicerai saat menyusui, ayah bayi wajib membayar upah penyusuan (QS al-Baqarah [2]: 233). Ini bertujuan agar ibu tidak perlu bekerja saat hamil dan menyusui sehingga mengganggu hak anak mendapat penyusuan yang sempurna.

Dalam kaitan dengan peran perempuan sebagai rabbah al-bayt, Islam telah menjadikan qawwam berada di tangan laki-laki (suami). Makna qawwam bukanlah kepemimpinan yang berlaku seperti atasan dan bawahan. Kata qawwam ini merupakan bentuk mubalaghah dari kata qa’im; maknanya adalah pemimpin, pengurus, dan pendidik perempuan (Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2). Dalam makna qawwam ini ada kewajiban untuk memenuhi kebutuhan para istri dengan makruf, mengarahkan mereka pada kebaikan dan melindungi mereka.

Untuk menyempurnakan fungsi qawwam suami ini, istri wajib taat dan senantiasa meminta izin suami saat keluar rumah. Izin dan taat ini bukanlah suatu penindasan terhadap perempuan. Hal ini karena saat Allah SWT memberikan posisi qawwam kepada laki-laki. Namun, Allah SWT pun memerintah suami untuk memperlakukan istri dengan sebaik-baiknya (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 19; al-Baqarah [2]: 228). Rasulullah SAW juga pernah bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي
"Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik perlakuannya terhadap istrinya.  Sesungguhnya aku sendiri adalah orang yang paling baik di antara kalian dalam memperlakukan istriku" (HR. Ibnu Majah).

Berkaitan dengan peran perempuan di ruang publik, Islam juga telah menggariskan serangkaian hukum yang bertujuan untuk menjaga dan melindungi kemuliaan perempuan. Hukum jilbab, safar dan larangan khalwat hakikatnya adalah hukum-hukum untuk melindungi perempuan dari berbagai fitnah saat beraktivitas di luar rumah, menjauhkan mereka dari para pengganggu dan memastikan ta’awun yang terjadi antara laki-laki dan perempuan dalam ruang publik adalah ta’awun yang positif dan produktif.

Dengan demikian, Islam tidak hanya mengatur peran perempuan, melainkan juga menjamin peran tersebut dapat terealisasi dengan sempurna melalui serangkaian hukum yang bersifat praktis. Kelebihan semacam ini tidak mungkin ada kecuali pada din yang bersumber dari Sang Pencipta manusia, Sebaik-baik Pembuat Hukum. [Arini Retnaningsih]